Kamis, 12 Agustus 2010

Penelitian dalam Profesionalisme

Banyak masyarakat professional dan pekerjaan yang melayani masyarakat tentu ingin senantiasa meningkatkan kualitas pekerjaannya. Peningkatan kualitas pekerjaan berjalan seiring dengan peningkatan pelayanan public dan peningkatan proses dan produk. Guru, pekerja sosial, kesehatan, bentuk-bentuk pekerjaan yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat memiliki ukuran keberhasilan kualitas layanan bukan sekedar kuantitas layanan.

Seorang guru bukan hanya rutinitas kehadirann di depan kelas tetapi bagaimana mendinamisasi, mendorong, merangsang, menantang para siswanya untuk maju secara dinamis mencapai goal-goal kecil mungkin hanya sebagai keberhasilan perantara, namun pada akhirnya pencapaian target pembelajaran. Demikian seorang pekerja sosial dip anti jompo, bukan kehadiran saja ukuran keberhasilan kerja mereka, tetapi bagaimana para lansia semakin bisa menerima layanan pekerja, dan penerimaan secara tulus dari para lansia kepada pekerja sosialah ukuran esensinya.

Ukuran kuantitas hanyalah alat ukur sekunder yang membantu memberikan sinyal-sinyal, namun itu bukanlah ukuran keberhasilan. Intisari peningkatan kualitas pekerjaan bukanlah regulasi kerja, rasionalitas, gaji, penerimaan pekerjaan kondisi pekerjaan. Pada sektor pekerjaan ini keberhasilan pekerjaan lebih terfokus seberapa besar harapan dan kepuasan terpenuhi.

Pengalaman-pengalaman dalam praktek professional mereka refleksikan menjadi tekanan/tuntutan kepada mereka yang harus mereka jawab dengan tindakan yang semakin baik di masa yang akan datang. Pengaruh kompleks terhadap kehidupan sosial sehari-hari memunculkan masalah-masalah keluarga, masyarkat, dan institusi. Praktisi professional memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul dari dasar atau disebabkan oleh penyebab yang terpendam sekali pun.

Misal: Seorang guru yang mengajar secara rutin setiap hari dengan gaya mengajarnya lama kelamaan tidak akan match lagi dengan tuntutan anak, orang tua, dan masyarakat. Mereka menginginkan guru berbuat lebih karena memang tuntutan dunia luar juga meningkat. Guru harus berbuat dinami karena masyarakat dan dunia dinamis. Demikian juga seorang dokter satu obat dimungkinkan sudah tidak mempan lagi untuk latar yang berbeda. Dokter memerlukan berbagai hal lain agar pasien terpuaskan dan memperoleh hasil sesuai harapan.

Pada titik harapan dan kepuasan inilah pekerja-pekerja professional di sektor ini berusaha secara maksimal dan terus menerus berusaha keras untuk memperbaiki pelanannya. Peningkatan ini tentu tidak serta merta tercapai. Peningkatan layanan memerlukan upaya ilmiah dan harus didasarkan pada tingkat keahlian yang senantiasa ditingkatkan .

Uraian di atas adalah satu latar mengapa para pekerja professional melakukan penelitian. Mereka melakukan berbagai penelitian dengan ragam dan jenisnya. Pada akhir-akhir ini penelitian tindakan sedang menjadi pilihan utama karena secara praktis dapat dilakukan oleh praktisi. Guru melakukan penelitian tindakan kelas, dokter melakukan penelitian tindakan terapheutik, pekerja sosial melakukan penelitian tindakan layanan, dan sebagainya.

Pada satu sisi upaya ini perlu diberi ucapan selamat, karena mereka telah melakukan tugas professional mereka yaitu meningkatkan pelayanan, menggunakan dasar-dasar ilmiah dalam memperbaiki keadaan. Akan tetapi dalam setiap upaya tentu mengandung resiko dan konsekuensi yang harus diperhatikan. Misal: Penelitian tindakan kelas oleh guru tidak sekedar memperbaiki, tetapi yang diperbaiki adalah prosesnya. Siswa yang bosan dengan metode A, oleh guru diperbaiki dengan metode A+a, tentu pelaksanaan Aa inilah yang harus menjadi pusat perhatian bukan hasil Aa.

Uraian singkat ini mengamanatkan bahwa apa yang selama ini guru dan calon guru lakukan dalam penelitian tindakan terjadi distorsi dan bias dalam pelaksanaannya. Mereka berkonsentrasi pada ketuntasan belajar bukan pada pelaksanaan tindakan. Pelaksanaan metode Aa ini yang harus ditangani guru sampai guru benar melaksanaannya barulah melihat hasilnya!

POSISI PTK

Para peneliti awal, utama rekan guru-guru dan calon guru yang melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) sering terkacaukan dalam paradigma menelitinya. Mereka melakukan  PTK, namun seringkali mereka terpaku kepada kenaikan hasil belajar. Seringkali secara vulga mereka melakukan berbagai usaha agar penelitiannya berhasil di mata dosen (dosen pembimbing), mereka memaksa diri menunjukkan kenaikan hasil belajar siswa dari siklus I ke seklus II dan ke siklus III. Ironisnya setiap siklus hanya mereka lakukan 1-2 pertemuan, maka praktis untuk tiga siklus penelitian hanya dilakukan selama 3-6 pertemuan. Bila penelitian dilakukan pada mata pelajaran Matematika atau Bahasa Indonesia, maka 1-2 minggu penelitian telah selesai, hebatnya nilai siswa meningkat, missal: start rerata 40 pada akhir siklus III ada yang mengalami kenaikan secara atraktif rerata 80 bahkan sampai 90, bahkan 100.

Jika dalam rentang waktu 1-2 minggu guru berhasil menaikkan hasil belajar sebesar itu, maka negeri ini hanya membutuhkan waktu satu tahun semua siswanya akan mampu pergi ke planet Mars. Ini berlebihan, namun ini terjadi karena ketidak tahuan mereka atau meneliti karena terpaksa karena tuntutan penyelesaian studi dan para pembimbing yang ironisnya juga menyetujui. Mereka tidak menyadari bahwa ia sebenarnya sedang meneliti dirinya sendiri bukan meneliti kenaikan hasil belajar siswa. Penelitian terhadap diri sendiri ini karena penelitian ini sebenarnya konsekuensi dari tugas profesionalnya  (http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/10/penelitian-dalam-profesionalisme/). 

PTK merupakan penelitian yang meneliti diri sendiri, meneliti kinerjanya agar kinerjanya menjadi lebih berterima dengan siswa, lebih mendorong kemajuan belajar siswa. Gambar di atas menjelaskan posisi PTK sebagai penelitian kritik refleksit, kritik dialektik terhadap kinerjanya dan melalui bantuan para observer (Kepala sekolah, teman, atau siswa) guru berusaha bercermin apakah kinerjanya  telah baik atau belum selanjutnya guru berdasar kritik tersebut berupaya memperbaiki kinerjanya. Sekali lagi bukan terfokus pada kenaikan hasil belajar, karena kanaikan hasil belajar adalah dampak dari tindakan  yang dilakukan guru dalam penelitian riil ini.

 

 

 

 

 

 

 


Penelitian Positivist.  Penelitian ini menggunakan metode ilmiah dengan teknik survey atau eksperimen. Ia mencari penjelasan sebab akibat dengan hokum-hukum universal. Posisi peneliti adalah sebagai observer yang netral, sehingga tingkat penerapannya melalui random sampling sebagai wakil yang representative. Pengaruh pada subjek melalui variabel yang dimanipulasi dalam eksperimen atau  berpegang pada teguh pada kekonstanan secara statistic, selanjutnya untuk verifikasinya melalui uji hipotesis.

Penelitian Interpretive. Penelitian ini secara awam sering dinamai penelitian kualitatif yang menggunakan metode Hermenuitik  penyelidikan soail dengan teknik pengamatan terhadap situasi sosial. Mereka sedang mencari pemahaman pengertian, sehingga posisi peneliti menenggelamkan diri dalam situasi sosial tersebut. Tingkat penerapan penelitian ini terkadang sangat sulit untuk digeneralisasikan. Pengaruh subjek penelitian dilakukan penyelidikan  pada latar alamiah. Untuk memverifikasi atau menginterpretasi hasil penelitian  melalui “Plausible Explanation”.

Penelitian Critical. Penelitian ini menggukanan penelitian tindakan (kalau latarnya kelas, maka menjadi penelitian tindakan kelas, kalau institusi menjadi penelitian tindakan institusi). Metode penelitian tindakan menggunakan teknik “Critical Discourse”. Penelitian ini mencari perubahan atau emansipasi/peningkatan. Posisi penelitia adalah partisipan atau agen pembaharu (bisa yang akan mengadakan perubahan itu sendiri). Tingkat penerapannya dapat dilihat dari pengaruh perubahan yang dapat konfirmasikan terhadap partisipan itu sendiri. Pengarus subjek penelitian adalah sesuai dengan tujuan penelitian adalah mengadakan perubahan dan peningkatan. Sedang untuk memverifikasi dilakukan melalui consensus antar partisipan.

Tahap verifikasi inilah kesulitan pokok, terutama kita sebagai bangsa Indonesia. Apakah kita sudah terbiasa menyampaikan kekurangan secara terbuka, menunjukkan kebaikan secara bebas, atau justru kita sering berbasa-basi tentang komentar kita, akibatnya kita tidak pernah mendapatkan verifikasi yang sebenar-benarnya.

Karakteristik paradigm penelitian ini sebenarnya harus secara disiplin kita taati karena kita telah memilih paradigm penelitian yang kita lakukan. Jika kita melakukan penelitian tindakan (kelas untuk para guru dan calon guru).  Mereka harus menyadari penelitian tindakan ini sebuah metode yang menggunakan teknik kritik terhadap discourse, terhadap latar yang terjadi, terhadap latar pembelajaran yang terjadi, maka kita harus tegas tehadap setting apa yang ingin kita tingkatkan, maka kita harus focus terhadap discource yang kita sedang cermati. Kita jangan lari ke hasil tindakan bukan pada tindakan (jika kita melihat hasil belajarnya sementara tindakan hanya sebagai  tindakan tanpa ada perubahan, maka kita lari dari focus (discource) yaitu  peningkatan tindakan , sementara hasil belajar itu dampak dari tindakan).

Penelitian tindakan adalah upaya mencari perubahan  dan meningkatkan. Peneliti bukanlah orang luar, peneliti adalah partisipan atau agen pembaharu, artinya kita tidak dapat menyerahkan pelaksanaan tindakan kepada orang lain (karena kitalah yang sedang me dan di tingkatkan). Apakah hasil dapat diterapkan di tempat lain, jawabannya tidak. Penelitian yang mencari perubahan dan peningkatan layanan tidak dapat diterapkan di tempat lain. Penelitian ini untuk mencari perubahan dan peningkatan situasi (latar peneltian jadi tidak bisa dipindah).  Apakah telah terjadi perubahan dan peningkatan? Maka verifikasi akan menentukan, karena kesepakatan/consensus seluruh pihak yang terlibat yang akan memutuskan tingkat keberhasilan. Jika guru dan siswa tanpa pihak lain, maka guru dan siswalah yang memeriksa tingkat keberhasilan itu. Jika ada kepala sekolah, maka consensus ditambah kepala sekolah.

Artinya semua dikembalikan kepada guru tentang ukuran keberhasilannya.  Situasi inilah menuntut pemahaman yang benar tentang PTK. Jika guru merasa, bila kenaikan hasil belajar digunakan sebagai indicator, maka inilah boomerang sedang berjalan mengancam esensi penelitian itu. Pemahaman dan kesadaran tentang metode penelitian dengan teknik kritkik “Discourse” ini harus termaknai dengan penuh kesadaran.

Sebagai catatan agar guru/peneliti tidak focus pada hasil belajar dan kembali focus kepada tindakan atau solusi, apakah solusi berhasil bukan nilai ukurannya. NIlai yang diperoleh siswa ditentukan oleh banyak ubahan (penyebab), antara lain: siswa belajar, guru mengajar, orang tua membimbng belajar siswa di rumah, jadi PTK bukan satu-satunya penyebab nilai siswa naik!

Senin, 15 Februari 2010

BERANILAH GURU!


Sungguh saya salah satu orang yang mendambakan kebangkitan guru, khususnya kebangkitan guru untuk berani! Berani menyuarakan kepentingannya, baik: akademik professional, pengembangan dan pembinaan pribadi, peningkatan dan peran sosial kemasyarakatan, dan berbagai kebutuhan lain. Intinya, kompetensi guru meningkat secara benar, tidak sekedar mengajar!

Sampai hari ini, guru masih sering menjadi objek bagi sebuah kebijakan! Anehnya, kebijakan tersebut masih sangat artificial simbolis. Contoh: pengenalan berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran, metode mengajar, penilaian, dan sebagainya.

Pada tahun 1980an, hampir seluruh guru disibukkan dengan Cara Belajar Siswa Aktif. Penataran-penataran mendominasi kegiatan guru (utamanya guru sekolah dasar).  Sayang  sekali penataran senantiasa dilakukan secara berjenjang. Beberapa pengawas/penilik atau pejabat-pejabat departemen pendidikan (waktu itu) ditatar tingkat nasional, selanjutnye penataran tingkat propinsi, kabupaten, SD initi, terakhir SD imbas….. Ilmu, makin lama-makin menipis, karena mereka bukanlah orang-orang yang secara kualitatif menguasai konsep-konsep, akibatnya terjadilah distorsi yang amat parah. CBSA harus berkelompok, CBSA harus membuat papan pajangan, akhirnya yang beruntung adalah pengusaha yang membuat dan menjual papan pajangan dan lks-lks melalui rekomendasi pejabat diknas atau melalui kepala sekolah (bisa dipotong, bisa pura-pura membeli, tetapi dana dari pusat telah diotong, tapi itu dulu lho).

Fakta lapangan menunjukkan,  peningkatan kualitas tidak linear dengan besaran biaya yang dianggarkan (sayangnya di ujung tombang, guru hanya bisa menjadi objek penataran berlabel peningkatan mutu). Penataran di waktu itu mungkin masih memiliki dampak positif manakala pengawas atau pejabat  yang menatar memiliki kiualifikasi bagus ditambah gesah pejabat pada tahun 1980an masih cukup bagus. Hanya sayangnya, mereka para penatar  tidak menguasai konsep teoritis yang mendasar  konsep pembelajaran siswa aktif.

Guru tidak diberikan dasar filosofis, bahwa keaktifan bukan sekedar atau selalu belajar kelompok atau berpasangan. Seyogyanya, belajar mengaktifkan secara  fisik, sosial emosional, dan mental. Lebih lengkap: Keaktifan fisik dicapai melalui inkuri pencarian bahan/materi, menyiapkan kerja, dan sebagainya.  Keaktifan  Sosial mencakup bagaimana bekerja sama dalam berbagai situasi dan berbagai kegiatan. Ia secara tidak langsung berinteraksi dengan  orang lain (orang dewasa, teman sebaya). Dalam bersosialisasi  ia belajar bergaul, bekerjasama, berbicara dengan orang tak dikenal, orang yang memiliki kompetensi (berkembanglah kemampuan berkomunikasi, bahasa komunikasi, memperluas pergaulan, mengendalikan diri, munculnya keberanian, ketahanan mental, kegigihan).  Keaktifan intelektual melalui berbagai alat-alat berpikir dengan menggunakan berbagai keterampilan-keterampilan intelektual . Terkembangkanlah kemampuan mendengar orang lain, berbicara dan menyampaikan gagasan, berfikir untuk solusi, mempertajam penglihatan, dan sebagainya (yang sebenarnya berbagai keaktifan itu tak terpisah, demikianpun dalam aktifitas dan pengembangannya terjadi secara simultan).

Itu hanya satu contoh!

Banyak contoh lain, misalnya: konsep mutan lokal (kurikulum muatan local) dikaitkan konsep “Link and Match” , kurikulum berbasis kompetensi, kurikulum tingkat satuan pendidikan, Pembelajaran AKIK, pembelajaran PAKEM, PAIKEM, Kontekstual, Kooperatif, dan sebagainya  dan sebagainya (masih banyak lagi). Penulis juga memiliki konsep pembelajaran “JUMINEM” lho, tapi tidak perlu penataran!  Intinya tetap sama guru adalah objek penataran, yang menatar pengawas/penilik dan berbagai pejabat lain (catatan Widyaiswara kebanyakan berasal dari mantan pejabat , mantan guru, barulah di tahun-tahun 2000an ada perubahan siapa-siapa yang bisa menjadi widyaiswara, itu juga dulu lho!). Kenyataan ini berpengaruh terhadap bagaimana ia mendaur ulang pengetahuan lama (mantan guru, pengawas dari guru, pejabat dari guru) ia dibarukan hanya melalui penataran, selanjutnya ia beraksi ria dan beorasi didepan guru-guru yang setiap hari bergelut dengan kegiatan belajar mengajar!  Tentu, rasa sensitivitas widyaiswara dalam mengkaitkannya dengan situasi lapangan tidak mudah, bukan berarti tidak bisa.

Beberapa tahun ini, guru-guru didorong melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Bahkan, hasil pengamatan, banyak widyaiswara yang melakukan penataran, semiloka,  dan lokakarya PTK. Hasil pantauan sementara, apa yang di lakukan guru di lapangan, penelitian terkonsentrasi ke perbaikan  hasil nilai. Penelitian berhasil bila hasil belajar (nilai) meningkat, melampaui standar ketuntasan minimal??? Andai setiap penelitian memperoleh peningkatan hasil belajar, maka tentu hasil belajar secara menyeluruh akan meningkat, apalagi penelitian dilakukan berulang-ulang?  Sebagai refleksi, dalam penelitian positif (misalnya: eksperimen) untuk meningkatkan hasil belajar 1 (satu digit) memerlukan waktu berbulan-bulan, itupun akan segera menurun seiring tidak intensifnya replikasi pembelajaran (setelah penelitian), dengan cepat situasi kembali ke asalnya. 

Satu hal lagi, PTK dilakukan untuk memperbaiki/menyelesaikan permasalahan, yang pada akhirnya berdampak pada kualitas pembelajaran (sedangkan hasil, diasumsikan meningkat linear dengan perbaikan proses). Kembler (2000), menguraikan secara komparatif “antara action research dan action learning/teaching”. Dimungkinkan, kenaikan/peningkatan hasil belajar bukanlah hasil penelitian, tetapi adalah hasil kegiatan belajar siswa/mengajar guru, jadi bukan hasil penelitian (tindakan  perbaikan pembelajaran, tentu tidak secara cepat memperoleh hasil/perlu proses).

Mengapa guru akhirnya melakukan PTK demikian? Ya, karena mereka menerima konsep PTK adalah peningkatan hasil belajar, dengan indikator keberhasilan PTK adalah hasil (mereka tiak diberi konsep esensial PTK adalah penyelesaian masalah, perbaikan, dan peningkatan), jadi tidak sekedar hasil belajar (nilai).  Sekali lagi, ini hasil deseminasi hanya bersifat artifisial (mungkin terbatasnya waktu penataran atau pelatihan sebagai penyebab).

Beranilah guru!

Sikap menerima apa adanya, patuh, taat, menyebabkan guru menjadi objek yang tidak pernah habis. Bila, sikap guru pasif seperti ini kemajuan/peningkatan akan jauh dari harapan. Untuk itu, rekan guru beranilah untuk berubah, beranilah untuk mencoba melakukan hal baru, pemecahan masalah kelas secara mandiri (bukan berarti tidak bertanya pada pihak lain). Guru harus berani membebaskan diri dari keterkungkungan. Guru harus rajin membaca, berinteraksi dengan pihak lain, bersikap kritis terhadap diri sendiri, senantiasa merefleksi diri untuk menemukan kekurangan, dan segera bergerak untuk  memperbaiki dirinya dan memperbaiki kinerjanya.

Guru memiliki kewengan untuk menjadi guru yang merdeka  dalam merencana, melaksanakan, dan menilai hasil kinerjanya (meskipun pemerintah juga memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja guru). Guru harus membaca lengkap isi undang-undang sistem pendidikan nasional dan undang-undang guru dan dosen. Guru harus mampu menempatkan diri secara proporsional, tentu demikian seluruh stake holder pendidikan nasional, hendaknya mampu menempatkan sesuai proporsi masing.

Saat ini kesejahteraan guru sudah meningkat, meskipun belum seperti harapan,  namun peningkatan kesejahteraan perlu disyukuri dengan meningkatkan kualitas diri dan kinerjanya. Bergeraklah guru sahabat semua orang, bergeraklah dan beranilah bergerak memperbaiki diri (kalau sudah baik meningkatlah). Peningkatan kita sebagai insane pendidik, akan mengakselerasi kualitas pendidikan kita segera mengejar ketertinggalan.

Saya yakin, saatnya akan tiba!